(mungkin) Dua minggu sudah berlalu dari pengangkutan sampah terakhir mbah Samidjo. Mbah Samidjo, seorang wanita, tukang sampah tanpa gerobak yang selalu memikul sampah-sampah yang harus ia kumpulkan. Pas saat itu saya diluar untuk menyapu halaman, halaman yang kumuh dengan sampah daun belimbing, belimbing busuk, jambu busuk dan kawan-kawannya yang berserakan di sana sini. Sangat kumuh untuk sebuah pemukiman padat penduduk di sebuah bukit di antara desa-desa. Sangat kontras dengan rumah lain yang sudah banyak hilang tanaman-tanamannya, kalo boleh dikata sudah mirip belantara. Keluarlah saat itu beberapa ibu-ibu, ya maklum lah dengan kebiasaan ibu-ibu rumah tangga perumahan di sore hari, nggosip atau bercerita tentang apa lah. Mulai lah mereka menghujat si tukang sampah gara-gara sampah di depan rumahnya menumpuk semakin tinggi sampa-sampai tutup bak sampahnya tidak mampu menutup dengan pas. Ironis, sampah yang harusnya menjadi tanggung jawab pribadi harus dilimpahkan ke orang yang mencari rejeki dari sampah-sampah yang mereka hasilkan. Perjuangan mereka (tukang sampah) tidak mudah bung, tidak dengan hanya duduk-duduk dikantor di depan komputer broswing entah apa pun atau malah menghindar dari pekerjaan utama dengan log in ke akun FB mereka, si tukang sampah harus berjalan mencari sampah yang dibuang dengan tenaga yang dimilikinya. Bahkan diserahi tanggung jawab untuk memungut seluruh sampah di suatu pemukiman dan dituntut harus tepat waktu. Apa mereka pikir tangan mereka ada 100? Satu orang saja bung, harus memungut sampah 4 Blok yang terdiri dari 6 RT.
Bijaklah dengan sampah kita, bukan dimana kita harus membuang sampah, namun bagaimana kita menahan konsumsi kita yang berpotensi untuk menjadi sampah. Tukang sampah selalu ada untuk sampah-sampah kita, akan tetapi jauh lebih bijak jika kita sendiri mau mengelola sampah yang kita hasilkan
Disela-sela sibuknya agenda, 20 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar