Dulu, setiap sore selalu ada tukang sampah dengan gerobak kayu warna coklat lapuk yang berkeliling di lingkungan rumah saya. Pasti bersama dengan dua atau tiga anaknya, pak tukang sampah (saya lupa namanya) berada di depan memimpin anak-anaknya mengumpulkan rupiah dengan membantu mengumpulkan sampah di lingkungan rumah saya. Dengan semangatnya pak tukang sampah mengangkat tong sampah (bukan tong besi, tapi tempat sampah dari ban karet) dan menumpahkannya di gerobaknya tadi. Dan tidak pernah lupa pak tukang sampah itu membersihkan sekitar tempat sampah dan merapikannya kembali, baru kemudian kembali berjalan menuju rumah selanjutnya untuk mengangkut sampah. Karena lingkungan rumah saya berada di perbukitan, sudah dipastikan pak tukang sampah akan menemui tanjakan dan turunan tajam. Yang saya ingat ada tali di belakang gerobak sampahnya untuk menahan laju gerobaknya ketika turun dan bersama-sama mendorong gerobak sampah ketika naik.
Hingga suatu ketika ada bantuan berupa gerobak sampah baru yang terbuat dari besi yang saya ingat volumenya lebih kecil dan lebih berat daripada gerobak sampah tua nya dulu. Saya melihat pekerjaannya makin berat saja dengan gerobak barunya. Kemana sampah lingkungan rumah saya dibuang? Ada penampungan sampah sementara di dekat rumah pak tukang sampah berupa bak kuning yang sering kita jumpai yang akan diambil secara berkala. Meski begitu, ternyata di samping rumah pak tukang sampah juga menjadi tempat sampah yang menampung seluruh sampah. Dan dibawah rumah pak tukang sampah ada satu sungai kecil yang mengalir damai.Lingkungan rumah saya adalah sebuah perbukitan yang berjarak sekitar 1,8 km dari jalan besar, jalan provinsi yang menjadi jalan utama dari jawa tengah menuju pusat kota Jogja dan menghubungkan dengan yang lain, lebih terkenal dengan Jalan Wates, tepatnya di Km 10,5. Dulu jalan menuju lingkungan rumah saya masih sempit dan beberapa jembatan yang ada (ada 2 aja sih) ada yang hanya bisa dilewati dengan 1 mobil saja, ketika 2 mobil dengan arah berlawanan akan melaju di atas jembatan, maka harus ada 1 mobil yang mengalah memberikan jalan untuk mobil yang lain. Suatu ketika ada kabar yang tidak menyenangkan. Pak tukang sampah tadi adalah juga seorang petani, atau hanya seorang yang mencari jerami di persawahan untuk makan ternaknya. Ketika melintasi salah satu jembatan, dengan membawa jerami yang cukup banyak di sepedanya, entah ada yang melintasi dari arah yang berlawanan atau bagaimana, si pak tukang sampah terjatuh dari jembatan dan meninggal (sejauh ini itu kisah yang saya tahu). Dan akhirnya tidak ada lagi yang mengumpulkan sampah lagi, karena anak-anaknya tidak mau lagi mendorong gerobak sampahnya. Krisis bagi kami yang memiliki pemukiman karena sampah mulai menumpuk. Hal ini membuat warga harus membuang sampah sendiri ke penampungan sampah sementara yang ada.
Lama-kelamanaan, si istri pak tukang sampah, yang dikenal oleh semua warga dengan Yu Sar, kembali mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah. Dengan cara yang berbeda, bukan dengan gerobak, tapi dengan keranjang (semacam wadah beras atau pupuk) plastik yang besar dan mengumpulkan dari rumah ke rumah. Ketika sudah penuh, maka keranjang tersebut akan ditempatkan di suatu tempat baru kemudian membawanya pulang untuk dibuang di penampungan sampah sementara dekat rumahnya. Bayangkan seorang ibu yang cukup tua dengan beban sampah yang banyak harus berjalan ke seluruh perumahan karena seluruh perumahan membutuhkan tenaganya. Honor yang diterima hanya sebesar 60.000 sampai 120.000 per bulan (seingat saya).
Hal yang cukup membuat saya sakit hati ketika Yu Sar tidak dapat mengambil sampah selama beberapa hari atau 1 minggu karena sakit atau sedang ada acara, semua warga mengeluh dengan sampah-sampah mereka sendiri. Heloooo sampah siapa yaa??? Yang saya tahu semua sampah yang dibuang adalah tanggung jawab orang yang menghasilkan / membuang. Berpikirlah lebih bijak. Hargailah orang yang membantu kita untuk lepas dari masalah sampah-sampah kita.
Seorang tukang sampah adalah pelayan publik dengan jasa mengelola sampah yang kita hasilkan. Akan lebih bijak jika kita menjadi tukang sampah bagi sampah-sampah kita sendiri. Entah mengolahnya menjadi kompos atau daur ulang, yang pasti tunjukkan kepedulian kita untuk sampah yang kita hasilkan. Bukan hanya menyerahkan pada petugas sampah yang (pasti) selalu ada untuk sampah-sampah kita.
Tukang Sampah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar